Ilustrasi. (medcom.id)
Jakarta: Pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho yang menyebut bahwa kasus di Parigi Moutong bukan pemerkosaan melainkan persetubuhan anak di bawah umur menuai polemik. Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Ariel menjelaskan soal diksi pemerkosaan dan persetubuhan itu.
"Dari sisi istilah, dalam UU Perlindungan Anak yang ada adalah persetubuhan dan pencabulan. Kosakata pemerkosaan tidak digunakan pada UU tersebut," kata Reza dalam keterangan tertulis, Sabtu, 3 Juni 2023.
Dia menyebut persetubuhan dengan anak dalam istilah asing, adalah statutory rape. Rape adalah pemerkosaan. Istilah statutory rape, kata dia, dipakai untuk mempertegas sekaligus membedakannya dengan rape. Pada rape, kehendak dan persetujuan kedua pihak ditinjau.
"Rape hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan. Hal sedemikian rupa tidak berlaku pada anak-anak," ujar Reza.
Menurut dia, meski anak berkehendak dan bersepakat melakukan hubungan badan, tak serta-merta statutory rape tersebut ternihilkan. Dia menegaskan anak tetap dianggap tidak berkehendak dan tidak bersepakat melakukan hubungan badan.
"Sehingga, apa pun suasana batin anak, ketika dia disetubuhi, serta-merta dia disebut sebagai korban pemerkosaan atau korban persetubuhan," ungkap psikolog anak itu.
Reza mengatakan tidak perlu risau atas diksi yang digunakan polisi. Dia meyakini polisi justru berdisiplin dengan istilah yang dipakai dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
"Siapa pun yang menyetubuhi anak tersebut, termasuk anggota Brimob sekalipun, niscaya diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Apa jenis kejahatan seksualnya? jawabannya, persetubuhan dengan anak atau statutory rape alias pemerkosaan yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum, bukan oleh ketiadaan kehendak dan kesepakatan dari pihak korban," jelas Reza.
Di samping itu, terkait nasib para pelaku Reza memandang tak sulit untuk menjatuhkan hukuman maksimal. Bahkan, hukuman mati sekalipun. Alasan utama karena korban sampai menderita masalah fisik sedemikian serius akibat perbuatan para pelaku.
Sementara itu, terkait korban yang berusia 15 tahun dinilai secara fisik, tubuhnya sudah mengenal sensasi seks. Terlebih, perkosaan berlangsung berulang dalam kurun yang panjang dengan modus iming-iming imbalan dan sejenisnya.
"Dengan kondisi seperti itu, penting dicari tahu apakah korban mengalami perkosaan dengan perasaan menderita ataukah biasa saja atau justru menganggapnya sebagai aktivitas transaksional dengan tujuan instrumental (memperoleh keuntungan)," ucap Reza.
Namun, Reza menegaskan apa pun kondisi korban, dia tetap berstatus korban dan pelakunya tetap harus dipidana. Pengetahuan tentang kondisi mental korban dibutuhkan dalam rangka menyusun program penanganan yang tepat bagi dirinya.
"Pengetahuan tentang hal itu boleh jadi terkesampingkan. Terindikasi dari informasi si pendamping yang berkutat semata-mata pada kondisi fisik korban. Mungkin, saking ekstremnya masalah fisik si korban, pendamping serta-merta meyakini bahwa korban mengalami perkosaan dengan penuh penderitaan," ujar Reza.
Polda Sulteng menetapkan 10 orang tersangka dalam kasus dugaan asusila terhadap anak di bawah umur ini. Yakni HR (43) seorang kepala desa di Parigi Moutong, ARH, 40, seorang guru SD di Desa Sausu, AK, 47, AR, 26, MT, 36, FN, 22, K, 32, AW, AS, dan AK.
Dari 10 orang tersangka, saat ini tujuh orang yang sudah ditahan. Sementara tiga tersangka lainnya masuk daftar pencarian orang (DPO) atau buron.
"Tiga tersangka DPO, yakni AW, AS dan AK. Kami memperingati ketiganya segera menyerahkan diri untuk menjalani proses hukum. Bagi warga yang melihat atau mengetahui keberadaan ketiga DPO tersebut agar segera melapor kepada kantor polisi terdekat," kata Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho beberapa waktu lalu.
Di samping itu, ada seorang anggota polisi yang diduga juga terlibat dalam kasus kekerasan seksual ini. Namun, anggota Polri berinisial MKS itu belum ditetapkan sebagai tersangka.
Polda Sulteng masih melakukan pendalaman. Namun, MKS yang berpangkat Ipda telah dinonjobkan atau diberhentikan dari tugasnya selama proses pemeriksaan.